Rabu, 08 April 2009

Indonesian Legal System Assignment - Hukum Acara Perdata

BAB I
PENDAHULUAN



1.1 Latar Belakang
Hukum acara perdata ialah rangkaian peraturan hukum yang menentukan bagaimana cara-cara mengajukan ke depan pengadilan perkara-perkara keperdataan dalam arti luas (meliputi juga hukum dagang dan cara-cara melaksanakan putusan-putusan (vonnis) hakim juga diambil bedasarkan peraturan-peraturan tersebut; dapat juga disebut rangkaian peraturan-peraturan hukum tentang cara-cara memelihara dan mempertahankan hukum perdata material.
Hukum Acara Perdata di Indonesia mengalami proses kodifikasi. Pelaksanaan hukum acara ini pun sebagian besar menggunakan Reglemen Indonesia Yang Diperbaharui. Hukum ini juga menyangkut asas-asas yang mendasarinya serta berbagai pelaksanaan hukum ini di Indonesia.
Di dalam hukum ini juga dijelaskan mengenai alat-alat pembuktian hukum sesuai yang tertera dalam Hukum Acara Perrdata. Di Indonesia sendiri, banyak terjadi kasus-kasus yang berkaitan dengan Hukum Acara Perdata ini. Seringklali juga melibatkan pejabat negara, seperti kasus yang terjadi pada Halimah dan suaminya, Bambang.

1.2 Perumusan Masalah
1. Apakah definisi dari hukum acara perdata?
2. Dari manakah sumber hukum acara perdata?
3. Apakah azas hukum acara perdata?
4. Bagaimanakah pelaksanaan hukum acara perdata?
5. Bagaimanakah pembuktian dalam hukum acara perdata?



1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui definisi dari hukum acara perdata
2 Untuk mengetahui sumber hukum acara perdata
3 Untuk mengetahui azas hukum acara perdata
4 Untuk mengetahui pelaksanaan hukum acara perdata
5 Untuk mengetahui pembuktian dalam hukum acara perdata

Metode
Metode yang kami gunakan dalam pembuatan makalah ini adalah dengan studi pustaka, di mana kami mencari sumber-sumber berupa buku-buku yang berhubungan dengan Hukum Acara. Selain itu, kami juga mencari referensi tambahan dari internet.





BAB II
ISI


2.1 Definisi Hukum Acara Perdata
Dalam berbagai literatur Hukum Acara Perdata, terdapat berbagai macam definisi Hukum Acara Perdata ini dari para ahli (sarjana), yang satu sama lain merumuskan berbeda-beda, namun pada prinsipnya mengandung tujuan yang sama.
Wirdjono Prodjodikoro (1976 : 43) menyatakan bahwa Hukum Acara Perdata adalah rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak terhadap dan di muka pengadilan dan bagaimana cara pengadilan itu harus bertindak, satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan-peraturan Hukum Perdata.
Sudikno Mertokusumo (1993 : 2), menyatakan bahwa Hukum Acara Perdata adalah peraturan hukum yang mengatur bagaimana caranya menjamin ditaatinya Hukum Materiil dengan perantaraan hakim”.
Soepomo (1958 : 4) dalam bukunya “Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri” meskipun tidak memberikan batasan, tetapi dengan menghubungkan tugas hakim, menjelaskan. Dalam peradilan perdata tugas hakim ialah mempertahankan tata hukum perdata, menetapkan apa yang ditetapkan oleh hukum dalam suatu perkara.

2.2 Sumber Hukum Acara Perdata
Hukum acara perdat di Indonesia bersumber pada 3 kodifikasi hukum, yakni:
a) Reglemen Hukum Acara Perdata, yang berlaku bagi golongan Eropa di Jawa dan Madura ( Reglemen op de Burgerlijke Rechtsvordering)
b) Reglemen Indonesia yang Dibaharui (RIB), yang berlaku bagi golongan Indonesia di Jawa dan Madura (Herziene Inlandsch Reglement = H.I.R.); sekarang untuk hokum acara pidana diganti oleh Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
c) Reglemen hukum untuk Daerah Seberang, yang berlaku bagi peradilan Eropa dan Indonesia di daerah luar Jawa dan Madura (Rechtsreglement Buitengewesten)

Dalam kenyataan pelaksanaan hukum oleh pengadilan dewasa ini, sebagian besar digunakan RIB bagi seluruh Indonesia. Apabila ada hal-hal yang tidak diatur dalam RIB, maka pengadilan mempergunakan aturan-aturan dari Reglement Hukum Acara Perdata.


2.3 Azas Hukum Acara Perdata
Berikut beberapa azas dari Hukum Acara Perdata yang lazim dan sudah banyak dipergunakan dalam Peradilan Perdata. Azas itu terdiri atas:
a. Hakim bersifat menunggu (pasif)
- Yang bekepentinganlah yang mengajukan, hakim menunggu (index ne procedat ex officio). (Vide, pasal 118 HIR, 142 RBG).
- Ruang lingkup dan luas pokok sengketa ditentukan para pihak.
- Para pihak dapat mengakhiri sendiri sengketa, sedangkan hakim tidak. (Vide, pasal 130 HIR, 154 RBG).
- Hakim wajib mengadili seluruh gugatan dan dilarang memutus lebih dari yang dituntut. (Vide, pasal 178 ayat (2) dan (3) HIR). (beda dengan pidana bisa lebih berat).
- Para pihak yang harus membuktikan.

b. Sifat terbukanya persidangan
- Sidang terbuka untuk umum
- Jika putusan tidak dibaca didepan umum berarti tidak sah dan dapat batal demi hukum.

c. Hakim harus mendengar kedua belah pihak (Vide, pasal 132a, 121 ayat (2) HIR).

d. Putusan disertai alasan-alasan
- Harus disertai alasan putusan (pasal 315 HIR) jika tidak maka bisa banding/kasasi.

e. Beracara dikenakan biaya
- Berperkara kena biaya (Pasal 121 ayat (4), 182, 183 HIR).
- Yang tidak mampu, bisa gratis/prodeo (Pasal 237 HIR)

f. Tidak ada keharusan mewakilkan
- Para pihak tidak diwajibkan mewakilkan, tetapi dapat juga dengan kuasanya (Pasal 123 HIR).

2.4 Pelaksanaan Hukum Acara Perdata

Adapun pelaksanaan acara perdata secara garis besar dapat digambarkan sebagai berikut: Pihak penggugat (yang dirugikan) mengajukan surat gugatan kepada Kantor Panitera Pengadilan Negeri setempat. Berdasarkan surat gugatan tersebut, Juru Sita menyampaikan sebuah surat pemberitahuan kepada pihak tergugat (yang menimbulkan kerugian) yang isi pokoknya menyatakan, bahwa pihak tergugat harus datang menghadap ke Kantor Pengadilan untuk diperiksa oleh hakim dalam suatu perkara keperdataan seperti yang disebutkan dalam surat pemberitahuan tersebut.
Untuk menguruskan suatu perkara perdata di Pengadilan, pihak penggugat dapat juga memintakan bantuan jasa (perantaraan) seorang Pengacara atau Pembela (Advokat). Tata cara mengajukan gugatan haruslah memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan, karena jika tidak ada gugatan yang diajukan itu akan menjadi tidak sah.
Pada masa sekarang, berdasarkan surat gugatan dari pihak penggugat, hakim memanggil kedua pihak (penggugat dan tergugat) untuk datang menghadap ke sidang pengadilan yang akan melakukan pemeriksaan dalam perkara perdata seperti yang dijelaskan dalam surat gugatan tersebut.
Pengajuan permohonan gugatan oleh penggugat dilakukan baik secara tertulis di atas kertas yang bermeterai, maupun disampaikan secara lisan kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat. Pada waktu mengajukan surat gugatan, pihak penggugat diharuskan membayar sejumlah uang yang telah ditentukan kepada Panitera Pengadilan Negeri untuk ongkos perkara yang bersangkutan, namun dapat juga dibebaskan jika penggugat tersebut tidak mampu membayar.
Apabila kedua pihak telah hadir pada hari yang ditentukan, maka hakim akan membuka sidang pengadilan. Mula-mula dalam sidang pengadilan itu, Ketua Majelis berusaha untuk mendamaikan kedua pihak yang bersengketa. Jika tercapai perdamaian, maka dibuatlah akte perdamaian yang isinya harus dilaksanakan oleh kedua pihak tersebut.
Namun jika pihak-pihak yang berperkara itu tidak dapat didamaikan lagi, maka hakim lalu membacakan surat gugatan yang telah diajukan oleh penggugat, dan kemudian setelah itu hakim memeriksa baik penggugat maupun tergugat. Selama pemeriksaan masih berlangsung, masing-masing pihak diperkenankan mengajukan saksi-saksi untuk menguatkan kebenarannya. Sebelum memeberi kesaksiannya, para saksi itu terlebih dahulu harus mengangkat sumpah.
Ketua Pengadilan setelah selesai mendengarkan dan mempertimbangkan segala sesuatu berkenaan dengan perkara tersebut (keterangan-keterangan kedua pihak yang berperkara, saksi-saksi, dan bukti-bukti yang dikemukakan dalam sidang pengasilan), maka Ketua Pengadilan memutuskan siapa yang benar, yang sifatnya menerima gugatan dan berarti penggugat yang menang, ataupun menolak gugatan yang berarti pihak penggugat yang dikalahkan. Pihak yang dikalahkan wajib membayar ongkos-ongkos perkara.
Putusan hakim Pengadilan Negeri itu masih dapat dimintakan banding (appel) kepada Pengadilan Tinggi.
Dalam hal pihak penggugat atau pembelanya menganggap Pengadilan Negeri tidaka berwenang untuk memeriksa perkaranya, ia dapat mengajukan perlawanan (eksepsi).
Hakim pengadilan dapat mengadili dan memutuskan suatu perkara tanpa hadirnya pihak tergugat, dalam hal pihak tergugat tidak hadir pada hari pemeriksaan walaupun ia telah dipanggil dengan sepatutnya.
Pihak tergugat sebagai terhukum dapat pula mengajukan perlawanan (verzet) terhadap putusan hakim pengadilan tanpa hadirnya tergugat. Putusan yang dijatuhkan hakim tanpa hadirnya pihak tergugat, disebuit putusan verstek (verstek vonnis).
Adapun putusan hakim pengadilan dalam bidang keperdataan dapat merupakan:
a) Keputusan Deklarator
Adalah keputusan yang menguatkan terhadapa hak seseorang. Contoh: hakim menetapkan bahwa pihak yang berhak atas barang yang disengketakan itu adalah tergugat atau penggugat.
b) Keputusan Konstitutif
Adalah keputusan yang menumbulkan hukum baru. Contoh: hakim yang membatalkan suatu perjanjian maka antara pihak-pihak yang bersangkutan timbul keadaan hukum baru, misalnya harus saling mengembalikan barang-barang dan uang yang telah diterima masing-masing.
c) Keputusan Kondemnator
Adalah keputusan penetapan hukuman terhadap salah satu pihak. Contoh: pihak terhukum harus menyerahkan barang-barangnya kembali atau pihak terhukum tidak dibolehkan mendirikan bangunan dan sebagainya.

2.5 Pembuktian

2.5.1 Teori Pembuktian

Menurut Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H., guru besar FH-UGM, kata “membuktikan” mengandung beberapa pengertian:
1. Membuktikan dalam arti logis atau ilmiah
Membuktikan berarti memberikan kepastian mutlak, karena berlaku bagi setiap orang dan tidak memungkinkan adanya bukti lawan.
2. Membuktikan dalam arti konvensionil
Membuktikan berarti memberikan kepastian yang nisbi/relatif sifatnya yang mempunyai tingkatan-tingkatan:
- kepastian yang didasarkan atas perasaan belaka/bersifat instuitif (conviction intime)
- kepastian yang didasarkan atas pertimbangan akal (conviction raisonnee)
3. Membuktikan dalam hukum acara mempunyai arti yuridis
Pembuktian secara yuridis adalah pembuktian ”historis” yang mencoba menetapkan apa yang telah terjadi secara konkreto. Baik pembuktian yang yuridis maupun yang ilmiah, maka membuktikan pada hakekatnya berarti mempertimbangkan secara logis mengapa peristiwa-peristiwa tertentu dianggap benar.
Membuktikan dalam arti yuridis berarti memberikan dasar-dasar yang cukup kepada hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan guna memberikan kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan.
Berbeda dengan azas yang terdapat pada hukum acara pidana, dimana seseorang tidak boleh dipersalahkan telah melakukan tindak pidana, kecuali apabila berdasarkan buki-bukti yang sah hakim memperoleh keyakinan tentang kesalahan terdakwa. Dalam hukum acara perdata untuk memenangkan seseorang, tidak perlu adanya keyakinan hakim. Yang penting adalah adanya alat-alat bukti yang sah, dan berdasarkan alat-alat bukti tersebut hakim akan mengambil keputusan tentang siapa yang menang dan siapa yang kalah.



2.5.2 Prinsip-Prinsip Pembuktian
Dalam suatu proses perdata, salah satu tugas hakim adalah untuk menyelidiki apakah suatu hubungan hukum yang menjadi dasar gugatan benar-benar ada atau tidak. Adanya hubungan hukum inilah yang harus terbukti apabila penggugat mengiginkan kemenangan dalam suatu perkara. Apabila penggugat tidak berhasil membuktikan dalil-dalilnya yang menjadi dasar gugatannya, maka gugatannya akan ditolak, sedangkan apabila berhasil, maka gugatannya akan dikabulkan.
Tidak semua dalil yang menjadi dasar gugatan harus dibuktikan kebenarannya, untuk dalil-dalil yang tidak disangkal, apabila diakui sepenuhnya oleh pihak lawan, maka tidak perlu dibuktikan lagi.
• hal-hal/keadaan-keadaan yang telah diakui
• hal-hal/keadaan-keadaan yang tidak disangkal
• hal-hal/keadaan-keadaan yang telah diketahui oleh khalayak ramai (notoire feiten/fakta notoir). Atau hal-hal yang secara kebetulan telah diketahui sendiri oleh hakim. Fakta notoir misalnya, bahwa pada hari Minggu semua kantor pemerintah tutup, dan bahwa harga tanah di Jakarta lebih mahal dari di desa.

2.5.3 Alat-alat Bukti

Menurut KUHS pasal 1865 dab RIB pasal 163, bahwa barang siapa menyatakan mempunyai hak atau menyebutkan sesuatu peristiwa, maka ia harus membuktikan adanya hak itu atau adanya peristiwa tersebut.
Berhubungan dengan itu dalam Hukum Acara Perdata dikenal dengan 5 macam alat pembuktian (cara pembuktian) yaitu :
a. Bukti Tertulis
b. Bukti Saksi / Kesaksian
c. Persangkaan
d. Pengakuan
e. Sumpah
Berikut Keterangan selengkapnya:
1. Alat bukti tertulis atau surat-surat
Surat-surat dapat dibagi dalam surat-surat akte dan surat-surat lain.
Surat akte
ialah suatu tulisan yang semata-mata dibuat untuk membuktikan sesuatu hal atau peristiwa, karenanya suatu akte harus selalu ditandatangani.
Surat akte dibagi 2 yaitu:
1. Suatu akte resmi (authentiek) ialah suatu akte yang dibuat oleh atau dihadapan seorang pejabat umum yang menurut undang-undang ditugaskan untuk membuat surat-surat akte tesebut. Pejabat umum yang dimaksud adalah notaris, hakim, jurusita pada suatu pengadilan, Pegawai Pencatatan Sipil, dsb.
2. Suatu akte di bawah tangan (onderhands) ialah tiap akte yang tidak dibuat oleh atau dengan perantara seorang pejabat umum. Misalnya, surat perjanjian jual-beli atau sewa menyewa yang dibuat sendiri dan ditandatangani sendiri oleh kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian itu..
Tulisan-Tulisan Lain
Tulisan lain merupakan tulisan yang bukan akte seperti surat, faktur, catatan yang dibuat oleh suatu pihak, dsb. Yang kekuatan pembuktiannya diserahkan kepada pertimbangan hakim, hakim leluasa untuk mempercayai atau tidak mempercayai kebenarannya.

2. Kesaksian
Kesaksian adalah kepastian yang diberikan kepada hakim di persidangan tentang peristiwa yang disengketakan dengan jalan pemberitahuan secara lisan dan pribadi oleh orang yang bukan salahsatu pihak dalam perkara, yang dipanggil di persidangan. Suatu kesaksian, harus mengenai peristiwa-peristiwa yang dilihat dengan mata sendiri atau yang dialami sendiri oleh seorang saksi. Jadi tidak boleh saksi itu hanya mendengar saja tentang adanya peristiwa dari orang lain.
Dalam proses peradilan perkara perdata dikenal adanya Testimonium de auditu yaitu keterangan saksi yang diperolehnya dari pihak lain yang melihat dan mengetahui adanya suatu peristiwa namun pihak yang mengetahui tersebut tidak bersaksi di pengadilan melainkan menceritakan pengetahuannya kepada saksi. Misalnya, pihak ketiga mengetahui secara langsung bahwa kedua belah pihak yang berperkara pernah mengadakan perjanjian hutang piutang. Kemudian pihak ketiga ini menceritakan pengetahuannya kepada saksi. Di persidangan saksi memberikan kesaksian bahwa ia mendengar dari pihak ketiga bahwa telah terjadi perjanjian utang piutang antara kedua belah pihak.
3. Persangkaan
Persangkan ialah suatu kesimpulan yang diambil dari suatu peristiwa yang sudah terang dan nyata. Dari peristiwa yang terang dan nyata ini ditarik kesimpulan bahwa suatu peristiwa lain yang dibuktikan juga telah terjadi
Persangkaan ada 2, yaitu:
1. Persangkaan yang ditetapkan oleh undang-undang (watterlijk vermoeden),
Pada hakekatnya merupakan suatu pembebasan dari kewajiban membuktikan suatu hal untuk keuntungan salah satu pihak yang berperkara. Misalnya, adanya tiga kwitansi pembayaran sewa rumah yang berturut-turut. Menurut UU menimbulkan suatu persangkaan, bahwa uang sewa untuk waktu yang sebelumnya juga telah dibayar olehnya.
2. Persangkaan yang ditetapkan oleh hakim (rechtelijk vermoeden)
Terdapat pada pemeriksaan suatu perkara dimana tidak terdapat saksi-saksi yang dengan mata kepalanya sendiri telah melihat peristiwa itu. Misalnya, dalam suatu perkara dimana seorang suami mendakwa istrinya berbuat zina dengan lelaki lain. Hal ini tentunya sangat sukar memperoleh saksi-saksi yang melihat dengan mata kepalanya sendiri perbuatan zina itu. Akan tetapi, jika ada saksi-saksi yang melihat si istri itu menginap dalan satu kamar dengan seorang lelaki sedangkan didalam kamar tersebut hanya ada satu buah tempat tidur saja, maka dari keterangan saksi-saksi itu hakim dapat menetapkan suatu persangkaan bahwa kedua orang itu sudah melakukan perbuatan zina. Dan memang dalam perbuatan zina itu lazimnya hanya dapat dibuktikan dengan persangkaan.
4. Pengakuan
Pengakuan dapat diberikan dimuka hakim di persidangan atau diluar persidangan. Pengakuan dimuka hakim di persidangan merupakan keterangan sepihak, baik tertulis maupun lisan yang tegas dan dinyatakan oleh salahsatu pihak dalam perkara di persidangan, yang membenarkan baik seluruhnya atau sebagian dari suatu peristiwa, hak atau hubungan hokum yang diajukan oleh lawannya, yang mengakibatkan pemeriksaan lebih lanjut oleh hakim tidak perlu lagi.
Pengakuan merupakan keterangan sepihak, karena tidak memerlukan persetujuan pihak lawan.
5. Sumpah
Sumpah pada umumnya adalah suatu pernyataan yang khidmat yang diberikan atau diucapkan pada waktu memberi janji atau keterangan dengan mengingat akan sifat mahakuasa daripada Tuhan, dan percaya bahwa siapa yang memberi keterangan atau janji yang tidak benar akan dihukum olehNya.
Ada 2 macam sumpah:
• Sumpah pelengkap (suppletoir)
Ialah suatu sumpah yang diperintahkan oleh hakim pada salah satu pihak yang beperkara apabila hakim itu barpendapat bahwa didalam suatu perkara sudah terdapat suatu ”permulaan pembuktian”, yang perlu ditambah dengan penyumpahan, karena dipandang kurang memuaskan untuk menjatuhkan putusan atas dasar bukti-bukti yang terdapat itu.
• Sumpah pemutus yang bersifat menentukan (decicoir)
ialah sumpah yang diperintahkan oleh salah satu pihak yang berperkara kepada pihak lawan dengan maksud untuk mengakhiri perkara yang sedang diperiksa oleh hakim.


BAB III
KESIMPULAN

Salah satu ahli hukum, Wirdjono Prodjodikoro menyatakan bahwa Hukum Acara Perdata adalah rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak terhadap dan di muka pengadilan dan bagaimana cara pengadilan itu harus bertindak, satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan-peraturan Hukum Perdata.
Dalam pelaksanaannya, hukum acara perdata berkodifikasi dari sumber hukum Reglemen Indonesia yang Dibaharui (RIB). Azas-azasnya diantara lain: Hakim bersifat menunggu (pasif), Sifat terbukanya persidangan, Hakim harus mendengar kedua belah pihak, putusan disertai alasan-alasan, Beracara dikenakan biaya, dan tidak ada keharusan mewakilkan.
Secara singkat, pelaksanaan acara perdata dapat digambarkan sebagai berikut: Pihak penggugat (yang dirugikan) mengajukan surat gugatan kepada Kantor Panitera Pengadilan Negeri setempat. Berdasarkan surat gugatan tersebut, Juru Sita menyampaikan sebuah surat pemberitahuan kepada pihak tergugat (yang menimbulkan kerugian) yang isi pokoknya menyatakan, bahwa pihak tergugat harus datang menghadap ke Kantor Pengadilan untuk diperiksa oleh hakim dalam suatu perkara keperdataan seperti yang disebutkan dalam surat pemberitahuan tersebut. Yang merasa dirugikan disebut penggugat, dan yang menimbulkan kerugian disebut tergugat.
f. Menurut KUHS pasal 1865 dab RIB pasal 163, bahwa barang siapa menyatakan mempunyai hak atau menyebutkan sesuatu peristiwa, maka ia harus membuktikan adanya hak itu atau adanya peristiwa tersebut. Untuk itu, dikenal 5 alat bukti, yaitu: bukti tertulis, bukti saksi / kesaksian, persangkaan, pengakuan, dan sumpah.






DAFTAR PUSTAKA

  1. Tomasouw, M. A. , Indonesian Legal System, The London School of Public Relations – Jakarta 2008
  2. Subekti, R., Prof, S.H. dan Tjitrosudibio, R., Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, PT Pradnya Paramita 1996
  3. http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=14&dn=20080610211242
  4. http://celebrity.okezone.com/index.php/ReadStory/2008/06/10/33/117425/sidang-sita-marital-halimah-bambang-tri-segera-diputus
  5. http://www.kapanlagi.com/h/0000225543.html
  6. http://www.santoslolowang.com/berita/28-06-2006/azas-hukum-acara-perdata/
  7. http://yogiikhwan.blogspot.com/2008/03/teori-pembuktian-dan-alat-alat-bukti.htm
  8. http://iaji.blogspot.com/2007/09/testamonium-deauditu-fia-s.html
http://pagarut.pta-bandung.net/index.php?option=com_content&task=view&id=57&Itemid=39

Tidak ada komentar:

Posting Komentar